Happy New Year 2013

Kutinggalkan jejak, di tahun yang baru berlalu.
Mencoba melangkah, menembus waktuku..
Semasih kumampu..
Telusuri jalan nan panjang,
Yang pasti kan ada akhirnya..
Ada yang senantiasa, menggebu..
Merentak.. bergolak didada..
Mencoba dengan segenap daya yang bisa,
Tuk wujudkan sebuah cita-cita..
Tak boleh ada kata putus asa.
Tak mungkin buat kita surut semula.
Yang lalu tak kan pernah kembali.
Yang akan di depan tak lama menanti..
Raihlah asamu..
Gapailah citamu..
Segenap mampumu..
Selamat tahun baru 2013..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MASA LALU

Dari matamu, kulihat kehampaan itu
Dari tawamu, kudengar kesedihan itu
Dari tatapanmu, kurasakan kekecewaan itu
Dari sikapmu, kusadari amarah itu

Tiap kali kita bertemu, selalu ada kenangan masa itu
Rasa kasih dan sayang yang meenggebu
Tiap kali kita bertemu, selalu terlintas kisah cinta itu
Kekecewaan dan amarah yang menghiasi kisah cinta kita berdua

Kenapa baru sekarang baru kamu sadari
Kalau sikapmu telah menyakitiku
Kenapa baru sekarang baru kamu katakan
Hadirku sangat berarti untukmu

Nasi telah menyadi bubur
Tak mampu lagi kurajut cinta bersamamu
Biarlah ku sendiri di sini
Merasakan secuil kekecewaan yang masih tersisa 

Tapi maaf beribu maaf
Kata "maafmu" tak lagi mampu meluluhkan hatiku
Rasa sakit ini terlampau besar dibanding kata maaf

Sudahlah  cukup kamu ada di hidupku
Mulailah dengan kehidupan barumu dengan orang lain
Akan kudoakan kau
Semoga kebahagian selalu menyelimutimu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Merry Christmas

Faith makes all things possible,
Hope makes all things work,
Love makes all things beautiful,
May you have all the three for this Christmas.
MERRY CHRISTMAS

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kisah Sedih di Malam Natal

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.
1 Korintus 10:3
12931812582115727407
Aku menatap Angel yang tidur lelap.  Adikku satu-satunya. Hanya tinggal aku dan dia. Ayah pergi meninggalkan kami setelah ibu meninggal dunia dua tahun yang lalu. Kata teman-teman ayahku, dia menikah lagi dan tidak ingin membawa kami karena istri barunya tidak menginginkan kami. Selama dua tahun itu juga ayah tidak pernah menjengukku.
Tidak ada yang bisa mereka wariskan selain kasih sayang dan tentang Yesus kristus dalam hidup kami. Beserta sebuah gubuk di kolong jembatan yang telah usang di makan waktu.
Seingatku sejak lahir aku sudah tinggal di kolong jembatan.
“Kak, aku mau kado natal.” Terngiang permintaan Angel sore tadi.
Aku mencoba memahami keinginannya sebagai anak berusia enam tahun.
“Kakak tidak bisa janji. Tapi kakak akan usahakan.”
Hanya itu yang bisa aku katakan.
*****
“Dua puluh ribu? Bagaimana?” tanya Bang Ical.
“Tambah lima ribu lagi bang!”
Bang Ical berpikir sejenak.
“Ok! Dua puluh lima ribu.”
Aku tersenyum lalu menyerahkan celana jeansku. Aku terpaksa menjual satu-satunya jeans yang aku punya. Demi untuk membeli sebuah kado untuk Angel.
Aku melangkahkan kakiku ke gubukku untuk menemui Angel.
Sebuah senyuman manis menyambut kedatanganku.
“Angel sudah mandi?”
“Sudah dong kak! Kakak tuh yang bau! He…he…he…”
Aku mencium aroma badanku yang asam.
“Kakak mandi dulu ya. Nanti kita ke mal.”
“Serius kak?” tanya Angel dengan mata berbinar-binar.
“Iya sayang! Emang kapan kakak bohong sama kamu?”
“Ya udah… Mandi sana kak.”
“Cium dulu dong!”
“Ngga mau!”
“Kalo gitu kakak yang cium kamu.”
Dengan cepat aku mendaratkan sebuah ciuman ke pipi Angel.
“Bau….” teriak Angel lalu tersenyum.
*****
Sudah satu jam aku dan Angel mengelilingi Citra Land Mal. Tapi dia belum memutuskan untuk memilih kado. Aku sengaja memberikan dia kebebsan untuk memilih kado asal harganya tidak lebih dari dua puluh lima ribu rupiah.
“Angel mau kado apa?”
“Tempat jual permen di mana kak?”
Aku sedikit bingung dengan pertanyaannya.
“Kita harus ke lantai bawah.”
“Ya udah kita ke sana.”
*****
“Satu orang dapat lima ya,” ucap Angel membagikan permen ke anak-anak jalanan yang sering mangkal di sekitar lampu merah dekat Citra Land Mal.
“Kita harus bisa berbagi, meski kita susah!”  Jawab Angel ketika aku menanyakan niatnya membagi-bagikan permen ke anak-anak jalanan.
Dia benar-benar malaikat kecilku. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang kini bermain bersama anak-anak jalanan lainnya.
“Angel, kakak mau pipis dulu ya.”
“Ya udah!”
Aku melangkahkan kakiku untuk mencari tempat memenuhi panggilan alam.



“Tolong!”
“Angel!”
Terdengar teriakan dari arah belakangku. Aku membalikkan tubuhku dan melihat kerumunan orang banyak. Tanpa berpikir panjang aku berlari ke kerumunan tersebut.
Dunia seakan runtuh. Angel terbaring di aspal jalanan dengan bersimbah darah.
“Tadi ada mobil ugal-ugalan yang nabrak Angel,” ucap seseorang ibu.
“Angel! Kakak sayang kamu! kamu jangan tinggalin kakak ya.”
Tidak ada jawaban. Hanya nafas lembut yang terdengar.
“Angel!” teriakku dengan sekuat tenaga. Aku tidak lagi mempedulikan orang-orang di sekitarku.
Aku mengangkat tubuhnya dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
*****
Masih terngiang dikepalaku percakapan kami dua hari yang lau.
“Kak, kapan aku bisa pegang pensil?”
“Untuk apa?”
“Aku udah ngga sabar lagi untuk belajar menulis.”
Tubuh mungilnya terbaring dengan lemah. Tangan kanannya yang buntung dibalut perban. Betapa mirisnya hatiku melihat perban itu. Aku melihat tubuhnya yang pucat dan menahan rasa sakit diantara selang infus yang masih terpasang ditubuhnya.
Aku mengumpulkan semua kekuatanku hanya untuk menyapanya.
“Hallo, Angel?”
Aku duduk di sisinya. Aku membelai rambutnya.
“Kak, tangan Angel sakit sekali. Tangan Angel kenapa dipotong? Kan Angel mau nulis?”
Aku mencoba untuk menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh menangis didepan Angel.
“Angel pasti sembuh!” kataku mencoba menghiburnya.
“Kalo Angel sembuh itu artinya tangan Angel tumbuh lagi ya?”
Hanya Tuhan yang tau betapa perihnya hati ini melihat keadaan Angel.
“Iya, Angel lupa. Angelkan bisa menulis pakai tangan kiri.” Ucapnya dengan senyuman.
Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh.  Aku ngga bisa membayangkan kalo aku mengalami apa yang dialaminya. Aku mungkin bisa gila! Tapi berbeda dengan Angel. Dia tetap optimis meski dia sendiri tidak tau arti optimis itu apa.
“Nanti kakak akan ajarin kamu menulis ya!”
“Kapan?” tanyanya.
“Kalau kamu sembuh nanti.”
“Kakak, udah belikan aku pensil?”
“Udah. Warnanya warna pink loh!”
“Kakak kenapa menangis? Aku aja yang kecil ngga nangis.”
Aku cepat-cepat menghapus air mataku.
“Aku mau nyanyi untuk kakak, bolehkan?”
Aku hanya menganggukan kepalaku.
Awan Awan Menghitam
Langit runtuhkan dunia
Saat aku tahu ternyata akhir ku tiba
Mengapa semua menangis
Padahal ku selalu tersenyum
Usap air matamu
Aku tak ingin ada kesedihan
Burung sampaikan nada pilu
Angin terbangkan rasa sedih
Jemput bahagia diharinya
Berikan dia hidup
Tuhan terserah mau-Mu
Aku ikut mau-Mu Tuhan
Ku catat semua ceritaku
Dalam harianku
************

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

AJARI AKU TERBANG



Seorang bocah laki-laki tampak berjalan. Menyisiri trotoar yang padat dengan warung-warung kaki lima juga orang yang lalu-lalang, sesekali dia mengelap peluh dengan punggung tangannya. Matahari memang sudah melewati kepala tapi panasnya masih saja membakar. Kaos yang sepertinya dulu berwarna putih tampak melekat seadanya di tubuh kurusnya. Rambutnya pendek, meski tak bisa dibilang cepak, terlihat basah.

Ardi, begitu dia biasa dipanggil. Umurnya baru menginjak sebelas tahun, tepatnya dua bulan lalu. Sebuah tas, entah apa pantas disebut tas, kotak kayu dengan tali dari ban bekas melingkar di pundak kanannya.

“Semir Om,” tawarnya pada beberapa laki-laki yang sedang makan di warung.
Tawaran yang mendapat gelengan kepala juga gerakan tangan mengusir sebagai jawaban. Seorang pemuda tampak menoleh ke arahnya, sebentar, kemudian kembali menikmati makanannya. Saat ini menjadi seorang penyemir sepatu semakin tidak mudah. Kadang timbul keinginan di kepalanya untuk mengemis atau mengamen saja. Keinginan yang kemudian ditepisnya jauh-jauh.

Apa salah? Sering dia berpikir, toh hampir semua temannya melakukan itu, mengemis juga mengamen. Bukan tentang salah dan benar karena kerasnya kehidupan di jalanan tak mengajarinya tentang itu. Asal bisa makan untuk hari ini, syukur-syukur bisa menyimpan untuk esok hari. Dia telah memilih dan dia memilih menjadi tukang semir sepatu.

“Semir! Semir sepatunya Om!”

Kakinya semakin jauh melangkah. Melewati pasar yang ramai dia terus menawarkan jasanya. Sejak berangkat menyemir belum satu pun orang yang mau menggunakan jasanya hari ini. Kakinya yang bertelanjang tanpa alas mulai terasa panas. Melihat sekeliling batinnya seolah berkata, disini terlalu ramai. Maka diayunkan langkahnya kembali menyusuri trotoar.

“Disini saja, siapa tahu nanti ada yang mau menyemirkan sepatunya,” bisiknya lirih.
Ardi meletakkan pantatnya begitu saja dia atas trotoar. Diletakkan kotak peralatan menyemirnya di sampingnya. Tangannya mengibas-ngibaskan kaosnya yang basah oleh keringat, mencoba mengusir gerah. Pohon besar di sebelahnya melindunginya dari sengatan matahari. Pilihan yang tepat untuk sejenak melepaskan rasa capek.

Kruk!
Ardi mengelus perutnya sebentar. Sejak pagi perutnya itu memang belum terisi nasi. Segelas air putih dan sepotong singkong rebus sisa semalam sebagai penganjal perutnya pagi tadi.
“Hei kamu, sini!”
Ardi menoleh, mencari arah suara yang memanggilnya.
“Saya Kak?” tanyanya sambil menunjuk dirinya.
“Iya kamu, sini.”

Bergegas Ardi berdiri sambil tak lupa meraih kotak semirnya. Seorang perempuan, masih muda, tampak berdiri di sebelah mobil merah mengkilat yang di parkir di pinggir jalan. Perempuan seperti itu sering dilihatnya, banyak disini. Kampus semegah ini tentunya berisi orang-orang seperti perempuan itu, cantik-cantik juga kaya tentunya. Ardi terus melangkah dengan mata berbinar. Rejeki, batinnya.
“Kasihan sekali kamu,” kata perempuan muda itu begitu Ardi sudah berada di depannya.
Senyum Ardi yang tadi mengembang mulai sirna.

“Mau disemir sepatunya Kak?” tanya Ardi.
Tak menjawab pertanyaan Ardi, perempuan muda itu justru membuka tasnya dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dompet.
“Nih, buat kamu,” katanya.
Mata Ardi melotot. Bukan karena melihat selembar kertas biru yang hampir tak pernah dipegangnya tapi  karena kata-kata perempuan tadi. Mulai tersadar Ardi pun tersenyum.
“Terimakasih Kak tapi nggak perlu,” tolaknya dengan halus.
Saat ini giliran perempuan muda itu yang melotot, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
“Ambil aja, ini buat kamu,” katanya lagi setengah memaksa.
“Saya tukang semir sepatu Kak. Kalau kakak mau sepatunya disemir mari saya semirkan.”
“Aku nggak mau semir sepatu. Ini uang buat kamu. Aku kasihan lihat kamu jadi ambil aja.”
Ardi lagi-lagi tersenyum. Perlahan dia menarik nafasnya. Perempuan di depannya itu masih menyodorkan uang lima puluh ribuannya.
“Terimakasih Kak tapi saya rasa saya nggak pantas dikasihani. Permisi,” kata Ardi sambil menarik tubuhnya, berlalu.

“Sudah Sel, kalo nggak mau jangan dipaksa. Baru jadi tukang semir sepatu aja sudah sombong,” teriak seorang perempuan dari dalam mobil.
Kecewa, lebih-lebih malu perempuan muda yang dipanggil Selly itu pun memasukkan kembali uangnya ke dalam tas.

“Kurang ajar bener tuh anak. Berani-beraninya menolak pemberian gue. Belagu!” gerutunya.

Di bawah pohon, Ardi kembali menyandarkan tubuhnya. Pikirannya melayang ke kelas pagi tadi. Beruntung, begitu dia biasa menyebut dirinya. Meski tidak bisa belajar di sekolah, di kolong jembatan tempat dia tinggal bersama ibu, adik juga teman-temannya yang lain, ada kakak-kakak yang hampir setiap hari datang dan mengajarinya belajar. Bukan hanya belajar membaca, menulis juga berhitung, kakak-kakak itu sering mengajak dia dan teman-temannya bermain.

Kakak-kakak yang usianya tidak jauh berbeda dengan perempuan muda tadi membangun sebuah tempat, yang meski seadanya, tak berbeda jauh dengan gubuk tripleknya, untuk digunakan sebagai tempat belajar. Studio Burung Kertas begitu mereka menamainya. Meluangkan waktu demi membagi ilmu dengan rasa kasih bukan rasa kasihan. Bahwa anak-anak seperti dia butuh diperhatikan, dibangun rasa percaya dirinya, diajak bersama-sama memandang dunia yang lebih luas dan berani bermimpi bukan hanya untuk diberi uang dan dikasihani, ya seperti itu yang Ardi inginkan.

1297221314625972464

“Ajari aku terbang, jangan kasihani aku,” bisiknya sambil mengelus-elus perutnya yang kembali bersuara.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS