Seorang bocah laki-laki tampak berjalan.
Menyisiri trotoar yang padat dengan warung-warung kaki lima juga orang
yang lalu-lalang, sesekali dia mengelap peluh dengan punggung tangannya.
Matahari memang sudah melewati kepala tapi panasnya masih saja
membakar. Kaos yang sepertinya dulu berwarna putih tampak melekat
seadanya di tubuh kurusnya. Rambutnya pendek, meski tak bisa dibilang
cepak, terlihat basah.
Ardi, begitu dia biasa dipanggil.
Umurnya baru menginjak sebelas tahun, tepatnya dua bulan lalu. Sebuah
tas, entah apa pantas disebut tas, kotak kayu dengan tali dari ban bekas
melingkar di pundak kanannya.
“Semir Om,” tawarnya pada beberapa laki-laki yang sedang makan di warung.
Tawaran yang mendapat gelengan kepala
juga gerakan tangan mengusir sebagai jawaban. Seorang pemuda tampak
menoleh ke arahnya, sebentar, kemudian kembali menikmati makanannya.
Saat ini menjadi seorang penyemir sepatu semakin tidak mudah. Kadang
timbul keinginan di kepalanya untuk mengemis atau mengamen saja.
Keinginan yang kemudian ditepisnya jauh-jauh.
Apa salah? Sering dia berpikir, toh
hampir semua temannya melakukan itu, mengemis juga mengamen. Bukan
tentang salah dan benar karena kerasnya kehidupan di jalanan tak
mengajarinya tentang itu. Asal bisa makan untuk hari ini, syukur-syukur
bisa menyimpan untuk esok hari. Dia telah memilih dan dia memilih
menjadi tukang semir sepatu.
“Semir! Semir sepatunya Om!”
Kakinya semakin jauh melangkah. Melewati
pasar yang ramai dia terus menawarkan jasanya. Sejak berangkat menyemir
belum satu pun orang yang mau menggunakan jasanya hari ini. Kakinya
yang bertelanjang tanpa alas mulai terasa panas. Melihat sekeliling
batinnya seolah berkata, disini terlalu ramai. Maka diayunkan langkahnya
kembali menyusuri trotoar.
“Disini saja, siapa tahu nanti ada yang mau menyemirkan sepatunya,” bisiknya lirih.
Ardi meletakkan pantatnya begitu saja
dia atas trotoar. Diletakkan kotak peralatan menyemirnya di sampingnya.
Tangannya mengibas-ngibaskan kaosnya yang basah oleh keringat, mencoba
mengusir gerah. Pohon besar di sebelahnya melindunginya dari sengatan
matahari. Pilihan yang tepat untuk sejenak melepaskan rasa capek.
Kruk!
Ardi mengelus perutnya sebentar. Sejak
pagi perutnya itu memang belum terisi nasi. Segelas air putih dan
sepotong singkong rebus sisa semalam sebagai penganjal perutnya pagi
tadi.
“Hei kamu, sini!”
Ardi menoleh, mencari arah suara yang memanggilnya.
“Saya Kak?” tanyanya sambil menunjuk dirinya.
“Iya kamu, sini.”
Bergegas Ardi berdiri sambil tak lupa
meraih kotak semirnya. Seorang perempuan, masih muda, tampak berdiri di
sebelah mobil merah mengkilat yang di parkir di pinggir jalan. Perempuan
seperti itu sering dilihatnya, banyak disini. Kampus semegah ini
tentunya berisi orang-orang seperti perempuan itu, cantik-cantik juga
kaya tentunya. Ardi terus melangkah dengan mata berbinar. Rejeki,
batinnya.
“Kasihan sekali kamu,” kata perempuan muda itu begitu Ardi sudah berada di depannya.
Senyum Ardi yang tadi mengembang mulai sirna.
“Mau disemir sepatunya Kak?” tanya Ardi.
Tak menjawab pertanyaan Ardi, perempuan
muda itu justru membuka tasnya dan mengeluarkan selembar uang lima puluh
ribu dari dompet.
“Nih, buat kamu,” katanya.
Mata Ardi melotot. Bukan karena melihat
selembar kertas biru yang hampir tak pernah dipegangnya tapi karena
kata-kata perempuan tadi. Mulai tersadar Ardi pun tersenyum.
“Terimakasih Kak tapi nggak perlu,” tolaknya dengan halus.
Saat ini giliran perempuan muda itu yang melotot, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
“Ambil aja, ini buat kamu,” katanya lagi setengah memaksa.
“Saya tukang semir sepatu Kak. Kalau kakak mau sepatunya disemir mari saya semirkan.”
“Aku nggak mau semir sepatu. Ini uang buat kamu. Aku kasihan lihat kamu jadi ambil aja.”
Ardi lagi-lagi tersenyum. Perlahan dia menarik nafasnya. Perempuan di depannya itu masih menyodorkan uang lima puluh ribuannya.
“Terimakasih Kak tapi saya rasa saya nggak pantas dikasihani. Permisi,” kata Ardi sambil menarik tubuhnya, berlalu.
“Sudah Sel, kalo nggak mau jangan
dipaksa. Baru jadi tukang semir sepatu aja sudah sombong,” teriak
seorang perempuan dari dalam mobil.
Kecewa, lebih-lebih malu perempuan muda yang dipanggil Selly itu pun memasukkan kembali uangnya ke dalam tas.
“Kurang ajar bener tuh anak. Berani-beraninya menolak pemberian gue. Belagu!” gerutunya.
Di bawah pohon, Ardi kembali
menyandarkan tubuhnya. Pikirannya melayang ke kelas pagi tadi.
Beruntung, begitu dia biasa menyebut dirinya. Meski tidak bisa belajar
di sekolah, di kolong jembatan tempat dia tinggal bersama ibu, adik juga
teman-temannya yang lain, ada kakak-kakak yang hampir setiap hari
datang dan mengajarinya belajar. Bukan hanya belajar membaca, menulis
juga berhitung, kakak-kakak itu sering mengajak dia dan teman-temannya
bermain.
Kakak-kakak yang usianya tidak jauh
berbeda dengan perempuan muda tadi membangun sebuah tempat, yang meski
seadanya, tak berbeda jauh dengan gubuk tripleknya, untuk digunakan
sebagai tempat belajar. Studio Burung Kertas begitu mereka menamainya.
Meluangkan waktu demi membagi ilmu dengan rasa kasih bukan rasa kasihan.
Bahwa anak-anak seperti dia butuh diperhatikan, dibangun rasa percaya
dirinya, diajak bersama-sama memandang dunia yang lebih luas dan berani
bermimpi bukan hanya untuk diberi uang dan dikasihani, ya seperti itu
yang Ardi inginkan.
“Ajari aku terbang, jangan kasihani aku,” bisiknya sambil mengelus-elus perutnya yang kembali bersuara.
0 komentar:
Posting Komentar